
Oleh: Eko Prasetyo Pemred MediaGuru, Alumnus Sastra Indonesia Unesa
Budaya Literasi dan Kualitas Hidup
Tak bisa disangkal, budaya literasi turut memengaruhi peradaban sebuah bangsa. Dalam lingkup yang khusus lagi, yakni membaca dan menulis, keterampilan literasi selalu dikaitkan dengan kualitas hidup. Seperti apa?
Berkaca pada Tokoh
Budayawan Ajip Rosidi pernah mengemukakan pendapatnya yang barangkali terdengar agak ekstrem. Dia sangat yakin bahwa hanya dengan membacalah cita-cita untuk menyejahterakan masyarakat dapat dicapai (2012: 263).
Dalam pandangannya, membaca adalah hal pertama dan utama yang harus dilakukan oleh seseorang apabila ingin mengubah dirinya ke kehidupan yang lebih baik. Membaca merupakan instrumen fundamental dalam melakukan transformasi pribadi, masyarakat, dan bangsa.
Ajip dalam otobiografinya yang berjudul Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (Pustaka Jaya, 2008) memberikan kritik konstruktif terhadap dunia pendidikan yang umumnya hanya mementingkan formalitas daripada hakikat. Ia mengutarakan, kualitas suatu lembaga pendidikan ditentukan oleh seberapa jauh tingkat minat baca para peserta didiknya. Pendidikan yang tidak dapat menumbuhkan minat baca akan menemui kegagalan. Sebaliknya, dengan minat baca yang bagus, walaupun tidak mengenyam sekolah tinggi, seseorang niscaya akan berhasil. Hal ini dibuktikan sendiri oleh Ajip yang menjalani hidupnya tanpa mengandalkan ijazah selembar pun.
Di masa lampau, banyak tokoh di republik ini yang disegani bahkan hingga tingkat internasional. Di antara mereka, ada nama Sukarno, Mohammad Hatta, KH Agus Salim, Tan Malaka, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dan lain-lainnya. Satu hal yang patut diteladani dari tokoh-tokoh tersebut adalah kebiasaan dan kedisiplinan mereka dalam hal membaca.
Bung Hatta, misalnya. Dalam perjalanan hidupnya, ia dikenang sebagai sosok yang memiliki disiplin membaca yang sangat hebat. Saat melakukan studi di Belanda, ia punya kebiasaan membaca buku dan menulis mulai pukul 19.00 hingga 24.00. Ia juga menulis untuk majalah Indonesia Merdeka sebagai kolumnis yang dilakukan mulai pukul 21.00. Kebiasaan membaca ini tidak hilang ketika ia menjalani masa-masa pembuangan.
Bagi Bung Hatta, buku ibarat istri pertamanya. Saat pembuangan ke Buven Digul, Papua, ia meminta izin selama tiga hari kepada petugas untuk mengepak buku-bukunya dahulu. Buku yang dibawanya kala itu sejumlah empat meter kubik yang dibagi dalam 16 peti dengan ukuran masing-masing seperempat meter kubik.
Islam sendiri memiliki banyak tokoh hebat yang juga penggiat literasi tingkat dunia. Sebagaimana diketahui, Islam mengalami masa kejayaan yang gemilang karena peradaban literasinya yang sangat maju. Peran dan kiprah ulama-ulama dan ilmuwan Islam bahkan diakui oleh dunia Barat. Contohnya, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Averoes), Imam Al Ghazali, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.
Yang juga perlu digarisbawahi, peradaban tersebut dibangun tidak hanya dengan budaya membaca yang baik, tapi juga upaya pendokumentasian melalui karya tulis-karya tulis yang disimpan di perpustakaan. Tiga kota besar dunia yang pernah menjadi saksi kejayaan Islam pada masa silam adalah Konstatinopel (Istanbul, Turki), Wina (Austria), dan Cordoba (Spanyol). Atmosfer literasi di tiga kota tersebut sangat terasa dengan keberadaan perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan bacaan-bacaan bermutu, termasuk karya-karya hebat ulama Islam.
Menumbuhkan Budaya Literasi
Lantas, bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini? Sindiran halus yang kerap dikemukakan untuk menggambarkannya adalah potret buram. Barangkali anggapan sinis ini tidak berlebihan. Pasalnya, tawuran, seks bebas, narkoba, dan kriminalitas lainnya mulai lekat dengan dunia pendidikan kita lantaran melibatkan pelajar.
Sekolah bahkan tidak jarang dianggap hanya sebagai ”penjara” karena justru tidak membuat anak mampu berkreativitas serta berinovasi di bidang keilmuan. Apabila situasi ini tidak dibenahi secara tuntas dan menyeluruh, sulit mengharapkan lahirnya generasi emas yang kelak memegang tampuk kepemimpinan negeri ini, apalagi di tengah deraan krisis moral dan akhlak seperti sekarang ini.
Maka, literasi diharapkan bisa menjadi pintu untuk mendongkrak permasalahan ini. Penguatan dan pengembangan budaya literasi harus dilakukan untuk mencetak sumber daya manusia unggul yang cerdas dan bermoral. Penguatan budaya literasi ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga mengejar ketertinggalan kita dari bangsa lain.
Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. ”Kunci” inilah yang sekarang ini hilang dari tradisi pendidikan kita. Harus kita pahami bahwa tingginya angka kemiskinan berkorelasi dengan rendahnya kualitas hidup. Karena itu, tradisi membaca harus dikembalikan dan diletakkan sebagaimana mestinya untuk meningkatkan kualitas hidup tersebut.
Menurut pustakawan Suherman, bekal kesuksesan yang sudah pasti adalah banyaknya ilmu dan luasnya wawasan seseorang. Salah satu cara termudah dan paling fundamental untuk memperolehnya adalah rajin membaca. Dia pun dengan tegas menyatakan bahwa bencana pengangguran lebih disebabkan oleh sikap malas membaca (2012: 13).
Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan betul-betul memperhatikan pentingnya budaya literasi di semua lini ini. Di sisi lain, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemangku kebijakan dan elemen masyarakat secara luas untuk memperkokoh budaya literasi ini.
Harus ada kesadaran bahwa membaca ialah instrumen yang sangat penting demi memerdekakan manusia dari penjajahan, kebodohan, dan kemiskinan. (*)
Bagikan artikel ini