Oleh Muchammad Syuhada’

Mengaktifkan Kesadaran dan Keterlibatan Publik dalam Mengontrol Laku Kekuasaan Pasca Pemilu dan Pilkada

Pemilu dan Pilkada merupakan sebuah sarana untuk memilih pemimpin yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pada negara yang menganut sistem demokrasi, proses pergantian kepemimpinan melalui Pemilu dan Pilkada berjalan sesuai dengan prinsip “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Pada momentum tersebut rakyat memiliki kuasa untuk menggunakan hak politiknya, rakyat bisa menentukan siapa pemimpin yang pantas untuk mewakili dan memimpin mereka.

Pemilu menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota). Sedangkan Pilkada menghasilkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Hal tersebut menjadi sebuah sarana untuk mengevaluasi perjalanan kepemimpinan selama lima tahun terakhir sehingga yang terpilih diharapkan mampu untuk membawa perubahan.

Euforia yang terjadi ketika pelaksanaan Pemilu dan Pilkada, seolah-olah masyarakat terbelah menjadi beberapa bagian. Bagian pertama, kubu Pemilih yang fanatik dengan pilihannya. Bagian kedua, kubu Pemilih yang acuh tak acuh terhadap pilihan yang ada. Bagian ketiga, kubu Pemilih yang seolah-olah diam tapi meyakini pilihannya. Semua pilihan dipertarungkan saat berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing sesuai dengan wilayah dan penggunaan hak pilihnya.

Hari ini, proses pergantian kepemimpinan melalui Pemilu dan Pilkada telah kita laksanakan. Tidak ada lagi kubu pemenangan dari pendukung pasangan calon yang telah berkontestasi dalam Pemilu dan Pilkada. Semua yang pernah memilih dan yang pernah mendukung kembali pada aktivitasnya masing-masing. Seluruh lapisan masyarakat kembali pada lingkungan sosialnya sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi dan menurunkan ego serta ketegangan sosial yang mungkin pernah ada semasa Pemilu dan Pilkada berlangsung sebagai suatu akibat yang pernah timbul dari ketertarikan Pemilih terhadap calon yang berkontestasi pada Pemilu dan Pilkada.

Sejalan dengan selesainya Pemilu dan Pilkada bukan berarti proses demokrasi telah selesai dilaksanakan. Pasca Pemilu dan Pilkada selesai, tanggung jawab kita sebagai warga negara dalam proses demokrasi tidak selesai begitu saja. Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pengawasan demokrasi tidak hanya berlangsung pada saat pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Namun, setelah itu peran aktif kita sebagai warga negara yang hidup dalam sistem demokrasi harus terus ditumbuhkan.

Keterlibatan Masyarakat Awasi Kebijakan

Spirit pengawasan pasca Pemilu dan Pilkada bisa dibangun melalui keterlibatan masyarakat dalam mengawasi kebijakan atas pejabat terpilih, memastikan janji-janji kampanye menjadi komitmen nyata, partisipasi publik yang berkeberlanjutan, tranparansi pemerintahan serta kualitas hubungan antara warga dan negara.

Publik seringkali disuguhi dengan janji-janji manis politik pada masa kampanye oleh peserta Pemilu dan Pilkada mulai dari pembangunan infrastruktur hingga reformasi sosial. Keterlibatan publik dalam pengawasan terhadap janji-janji politik sangat penting agar kampanye tidak dianggap sebagai ruang retorika saja. Dengan demikian, peran masyarakat sipil, akademisi dan media bisa melakukan pengawasan terhadap pelaporan progress janji-janji kampanye, transparansi anggaran serta forum evaluasi publik yang sangat diperlukan untuk rakyat dalam memberikan penilaian terhadap wakil yang mereka pilih, apakah sudah menjalankan mandatnya atau belum? Mengingat, pengawasan terhadap progress janji-janji politik merupakan salah satu bentuk nyata agar laku kekuasaan tidak dijalankan semena-mena sehingga pemimpin terpillih terpacu untuk bekerja atas dasar kontrak sosial yang sudah disepakati dengan rakyat, tidak berdasarkan atas kepentingan politik atau golongan tertentu.

Selain itu, partisipasi publik yang berkeberlanjutan dalam melakukan pengawasan pasca Pemilu dan Pilkada juga sangat penting. Partisipasi publik tidak hanya diukur pada hari pemungutan suara dilaksanakan. Namun, bisa juga diaplikasikan dalam bentuk penyampaian aspirasi kritik melalui media sosial, advokasi terhadap isu-isu yang terjadi di lapisan masyarakat dan penyadaran pentingnya literasi politik melalui sekolah, kampus, komunitas serta organisasi masyarakat sipil sehingga hal tersebut bisa membangun kesadaran kolektif masyarakat yang kritis dalam melakukan kontrol pengawasan terhadap jalannya sistem pemerintahan. Pemerintah pusat maupun daerah juga harus tanggap dan merespon secara aktif untuk membuka suatu kanal atau ruang kolaborasi bersama masyarakat sebagai langkah memperkuat mekanisme partisipatif yang inklusif, transparan dan tidak elitis. Hal tersebut bisa juga diimplementasikan dalam bentuk adanya ruang atau portal aspirasi publik, diskusi terbuka dan penguatan peran lembaga pengaduan.

Transparansi pemerintah juga bisa menjadi modal infrastruktur utama dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah di tengah maraknya tuntutan masyarakat terhadap pemerintahan yang bersih, akuntabel dan transparan. Hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dengan mengelaborasikan program pemerintah melalui dunia digital seperti penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, portal keterbukaan anggaran sehingga rakyat mengetahui apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah dari pajak yang sudah dibayar oleh rakyat.

Kualitas hubungan antara warga dan negara juga menjadi poin penting dalam sumbangsih peran bertumbuhnya demokrasi. Mengingat, demokrasi adalah hubungan timbal balik dua arah antara negara dan rakyat. Apabila hubungan antara keduanya terjalin dengan baik maka bisa terlahir kebijakan pemerintah yang inklusif dan tepat sasaran. Dalam hal ini negara harus hadir di tengah masyarakat, jangan hanya bekerja di balik tembok birokrasi. Kehadiran negara di tengah masyarakat bisa dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebelum proses pembuatan kebijakan yakni dengan mendengarkan masyarakat melalui serap aspirasi atas keluhan dan kebutuhan warga yang bisa dilakukan dengan metode dialog, musyawarah atau melalui posko aduan. Langkah lainnya, pemerintah juga perlu menjelaskan kepada Masyarakat berkaitan dengan kebijakan, dampak serta hak dan kewajiban yang didapatkan warga atau masyarakat atas kebijakan yang sudah dibuat pemerintah. Penjelasan pemerintah kepada masyarakat disampaikan dengan infromasi yang terbuka dan mudah difahami oleh masyarakat.

Secara sederhana, hal-hal yang tertulis di atas bisa dipahami sebagai refleksi yang secara kolektif memuat benang merah bahwa pemerintah tidak berdiri di atas rakyat melainkan pemerintah berdiri bersama rakyat. Jadi, jangan menganggap rakyat yang mengkritik adalah warga negara yang tidak cinta Indonesia. Jika rakyat masih menyampaikan kritik, itu pertanda bahwa rakyat masih benar-benar mencintai Indonesia.

*)Penulis adalah aktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rayat (JPPR) Provinsi Jawa Timur dan Alumnus Universitas Negeri Surabaya

Bagikan artikel ini

en_USEN