Danang Astri Lisdyantoro, Direktur Aset Unesa

Nahkoda Aset yang Mengidolakan Zanetti, Lin Dan hingga Ahsan

Bagi Danang Astri Lisdyantoro, Direktur Aset Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hobi merupakan sumber semangat dan keseimbangan hidup. Olahraga dan traveling adalah dua sisi kehidupannya yang selalu dijaga. Masing-masing memberinya energi berbeda; satu membakar semangat kompetisi, yang lain menyegarkan pikiran dan memperluas wawasan.

Sejak kecil, pria kelahiran Bekasi yang dibesarkan di Kota Pelajar, Yogyakarta itu sudah akrab dengan lapangan sepak bola. Debu tanah, sorak sorai teman sebaya, hingga riuh hujan menjadi ‘nyanyian’ yang mengiringi gocekan bola dari kaki ke kaki.

Sore hari selepas sekolah, ia larut dalam permainan sederhana yang membakar jiwa berlari, menggiring bola, dan sesekali terjatuh semuanya menjadi bagian dari masa kecil yang membekas.

“Kalau sudah main bola, hujan deras pun tetap lanjut. Kadang sampai disusul orang tua karena lupa waktu,” kenangnya sembari tersenyum.

Si kulit bundar masih melekat menjadi hobinya sampai sekarang. Ia aktif bermain bersama Unesa FC, klub sepak bola yang beranggotakan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Baginya, sepak bola bukan sekadar kompetisi, tetapi wadah membangun silaturahmi dan mempererat hubungan antar-civitas.

“Sepak bola di Unesa FC itu bukan cuma soal pertandingan. Di situ, kami saling kenal, saling sapa, dan tertawa bersama. Dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, semua lebur jadi satu,” ungkapnya.

Menurutnya, sepak bola adalah jembatan untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan di lingkungan kampus.   

Ketika ditanya tentang sosok idola, ia menyebut dua nama: Javier Zanetti, legenda sepak bola Argentina yang berdedikasi tinggi dan bertanggung jawab di lapangan, serta Rizky Ridho, bek muda Timnas Indonesia yang tampil tenang dan tak gampang terpancing emosi.

“Zanetti itu konsisten dalam kepemimpinan dan keteladanannya yang luar biasa. Ridho mainnya tenang, punya visi, dan tahu kapan bertahan atau menyerang,” jelasnya.

Strategi dan Bulu Tangkis

Jika sepak bola dijalani sesekali, badminton justru menjadi olahraga yang ia tekuni secara rutin. Tiga kali seminggu Rabu, Jumat malam, dan Minggu siang, Danang turun ke lapangan untuk mengayunkan raket dan melepas penat.

“Badminton itu sudah jadi bagian dari ritme hidup. Setelah seharian bekerja, main badminton itu seperti tombol reset buat pikiran,” ujarnya.

Menariknya, ia bermain dengan komunitas yang berbeda di tiap sesi. Rabu bersama rekan lintas unit kerja, Jumat dengan tetangga di lingkungan perumahan, dan Minggu bergabung dengan klub di lapangan setempat. Aktivitas ini memberinya banyak teman dan cerita.

“Bahkan urusan pekerjaan bisa lebih cair karena terbangun komunikasi dari lapangan,” tambahnya.

Salah satu momen paling membanggakan adalah saat membawa tim rektorat juara pertama di turnamen bulu tangkis Dies Natalis Unesa 2023. Biasanya, timnya hanya sampai babak penyisihan, tapi tahun itu berhasil menjadi juara.

“Rasanya luar biasa, apalagi bisa menang bersama tim sendiri dari lingkungan kerja,” ujarnya penuh semangat.

Sebagai pecinta bulu tangkis, ia mengidolakan Lin Dan, pemain legendaris asal Tiongkok yang kidal dan bermain sangat strategis. Ia juga mengagumi Mohammad Ahsan, ganda putra andalan Indonesia yang tampil elegan dan tenang di lapangan.

“Ahsan itu rendah hati, tenang, tapi strateginya matang dan permainannya mengesankan,” katanya.  

Baginya, ketenangan dan kekompakan dalam permainan ganda adalah prinsip yang juga ia terapkan dalam kehidupan dan pekerjaan.

Traveling dan Kekagumannya

Selain olahraga, traveling menjadi caranya untuk belajar dan menikmati ciptaan Tuhan. Sejak kecil, ia sering diajak orang tuanya mengunjungi pantai hingga perbukitan, menumbuhkan rasa cinta pada alam dan rasa syukur yang mendalam.

Kini, meski sibuk, ia selalu menyempatkan waktu untuk traveling bersama keluarga kecilnya, menjadikan momen itu sarana mempererat hubungan sekaligus menyegarkan pikiran. Ia selalu mengutamakan keinginan anak-anak. Jika ingin wahana, mereka ke Jatim Park, kebun binatang, dan tempat lain. Jika ingin melihat alam, mereka ke bukit atau pantai.

Dari sekian banyak perjalanan, yang paling berkesan adalah kunjungannya ke Raja Ampat pada 2016 lalu dalam sebuah forum wakil rektor. Meski butuh waktu berjam-jam naik kapal, keindahan alamnya sangat memukau.

“Lautnya jernih, pemandangannya luar biasa. Keramahan orang Papua dan ketulusan mereka menyambut tamu turut menambah makna perjalanan,” kenangnya.

Ia menyimpan harapan suatu hari bisa menginjakkan kaki di Aceh, tepatnya di titik nol kilometer Indonesia. Aceh baginya bukan hanya destinasi geografis, tetapi simbol ketangguhan dan harapan.

“Saya ingin tahu bagaimana Aceh bangkit pasca tsunami. Bukan hanya untuk keindahan, tapi untuk belajar dari ketangguhan mereka,” jelasnya.

Baginya, setiap destinasi bukan sekadar tempat bersantai, tapi ruang pembelajaran yang strategis kaya nilai. Ia memperhatikan bagaimana daerah merawat aset alam, mengelola dan mengoptimalkan fasilitas, dan membangun pengalaman pengunjung semua itu menjadi inspirasi dalam tugasnya sebagai direktur Aset Unesa. @Ja’far

Bagikan artikel ini

en_USEN