MOBILITAS INTERNASIONAL UNESA

Tunjang Pemeringkatan Kampus di Level Dunia

Universitas Negeri Surabaya (Unesa) terus berkomitmen menciptakan generasi unggul berwawasan internasional melalui berbagai program mobilitas internasional. Kegiatan mobilitas internasional menjadi salah satu penunjang pemeringkatan kampus di level dunia. Di luar dari skema yang ditawarkan pemerintah, kampus berjargon Satu Langkah di Depan itu memiliki sembilan program yang pembiayaannya berasal dari kampus maupun dari mitra dan mandiri.

Direktur Urusan Internasional Unesa, Asrori, SS, MPd mengatakan, sembilan program itu meliput, pertama program Unesa Global Student Scholarship atau UGSS. Program ini adalah program beasiswa Unesa yang diperuntukan bagi mahasiswa dari luar negeri yang ingin kuliah di Unesa baik untuk jenjang sarjana, magister, dan doktor.

“Terkait program ini, ada tiga macam skema beasiswa yang diterima. Di antaranya skema A (bebas UKT, bebas asrama, dan program BIPA 1 tahun), skema B (bebas UKT, bebas asrama, program BIPA 1 tahun, uang bulanan), dan skema C (bebas UKT, bebas asrama, program BIPA 1 tahun, uang bulanan, tiket pesawat PP, visa dan kitas, serta asuransi,” terang Asrori.

Kedua, program Unesa Global Mobility Awards atau UGMA. Program ini menaungi magang, PLP, KKN ke luar negeri. Pada 2024 ini, sudah pernah diikuti 50 lebih mahasiswa. Adapun negara yang menjadi tujuan program bergengsi di Unesa ini adalah Australia, Jerman, Tiongkok, Thailand, Korea dan Malaysia.

Ketiga, program KKN Kemanusiaan yang diinisiasi Unesa sebagai anggota Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI). Program ini, terang Asrori, bekerja sama dengan INTI University Malaysia. “Program ini dilaksanakan pertama kali pada tahun 2023 dengan mengirimkan enam mahasiswa untuk mengajar di Community Learning Center (CLC) atau sanggar Indonesia yang ada di daerah terpencil Malaysia,” ujar Asrori.

Program selanjutnya, yang keempat, adalah program magang industri dengan Universiti Sains Malaysia (USM). Pada program ini mahasiswa Unesa akan merasakan pengalaman belajar di dunia industri yang ada di universitas terbaik kedua di Negeri Jiran itu.

“Kebanyakan kerja sama Unesa dengan universitas di luar negeri itu terkait pertukaran mahasiswa sekitar dua hingga tiga bulan atau satu semester, bergantung pada kesepakatan yang dibuat dengan masing-masing prodi,” jelas dosen Prodi Bahasa Inggris itu.

Program internasional kelima adalah Western Australia East Java University Consortium atau WAEJUC. Program ini dibuat atas kerja sama pemerintah Jawa Timur dan Western Australia pada tahun 2017. Program yang berlangsung selama dua minggu itu, Unesa menjadi salah satu kampus tujuan untuk belajar budaya Jawa Timur.

“Program ini yang semakin hari semakin banyak peminatnya, karena di sini (WAEJUC) mereka mempelajari interaksi antarbudaya, perspektif global, dan rasa saling menghargai dalam perbedaan. Program ini juga bisa menambah kredit semester sebesar 25 SKS,” jelas Asrori lagi.

Program keenam adalah adjunct professor dari luar negeri. Dalam program ini, Unesa sudah memiliki delapan adjunct professor yang berasal dari Jerman, Inggris, Australia, Malaysia dan Jepang. Mereka tersebar di berbagai fakultas di Unesa. Ada yang di FEB, FV, FT, FBS, FIP, FIKK, Fisipol dan FMIPA.

“Peran mereka, mendongkrak mutu jurnal, jumlah, dan kualitas penelitian, serta mendorong penguatan kerja sama luar negeri, mempercepat inovasi, dan memberikan kuliah bersama dosen di Unesa,” lanjut Asrori,  

Program berikutnya, yang ketujuh, adalah summer course yang setiap dilaksanakan di setiap fakultas. Program, kedelapan adalah ICF atau International Cultural Festival yang diikuti orang asing. Lembaga yang mengurus adalah mereka yang sedang berada di beberapa daerah di Indonesia.

“Dan yang terakhir, program kesembilan adalah Unifur atau Unesa’s International Forum of University Rectors. Program ini adalah program yang dibuat Unesa sebagai media bertemunya para pimpinan lembaga dari seluruh dunia untuk saling bertukar pikiran dan informasi terkait apa yang sudah dilakukan, termasuk inovasi di kampus atau negara masing-masing. Program ini dilaksanakan satu kali setiap tahunnya,” tambah Asrori.

Selain kesembilan program itu, Asrori mengatakan, ada satu lagi yaitu program Sea Teacher. Program PLP Internasional ini diinisiasi SEAMEO Secretariat Bangkok. Pada 2024, Unesa telah mengirim dan menerima mahasiswa dari tiga kampus yang ada di Filipina. “Untuk Sea Teacher dan KKN Kemanusiaan, dikelola Direktorat TPTP bersama Direktorat Urusan Internasional,” terangnya.

 Terkait penyelenggaraan mobilitas internasional, Asrori menuturkan, belum semua prodi gencar melakukan. Untuk itu, ia dan tim kerja sama internasional akan menggalakkan sosialisasi mobilitas internasional ke seluruh fakultas.

“Promosi Unesa ke luar negeri sudah kami lakukan sejak 2024 lewat pameran pendidikan internasional, sudah ke Malaysia, Thailand, Afrika, Timur Leste, Filipina. Selanjutnya, sesuai arahan pimpinan, kami akan mencoba ke Yunani, Italia, dan Rusia,” terangnya.

Asrori menegaskan, prodi dalam promosi internasional memegang peran sangat besar. Sebab, ketika orang asing ingin mengetahui Unesa, yang dituju adalah website prodi untuk mengetahui lebih dalam tentang prodi yang mereka minati.

“Prodi itu pintu pertama. Kami ingin semua website prodi bukan hanya pajangan, tetapi benar-benar menjadi sumber informasi yang lengkap dan terupdate untuk konsumsi internasional, termasuk dengan desain programnya,” tukas dosen kelahiran Lamongan itu. @TimMajalahUnesa

12 Tahun FIP Unesa Gencar Mobilitas Internasional

Selama lebih dari 12 tahun, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) sudah gencar melakukan berbagai kegiatan mobilitas internasional. Tak pelak, fakultas tertua di Unesa itu telah menjalankan program mobilitas paling giat dibandingkan dengan fakultas-fakultas lainnya.

Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Unesa, Prof Dr Mochamad Nursalim, MSi mengatalan, di antara fakultas lain di Unesa, FIP menjadi fakultas yang paling giat melakukan mobilitas internasional, seperti pertukaran mahasiswa, magang, PLP, dosen tamu, summer camp, dan sea teacher, baik yang dilakukan secara luring, daring, maupun hybrid.

Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir, terang dekan FIP, berbagai program internasional terlaksana di Malaysia, Filipina, Thailand, Arab Saudi, Taiwan, hingga merambah ke Amerika Serikat dan Australia.

“Kami mulai melakukan kegiatan internasional itu, pertukaran mahasiswa, tapi hanya satu bulan, karena memang waktu itu belum ada ketentuan berapa lama periodenya, beda dengan sekarang,” ujarnya.

Semangat FIP mendongkrak kegiatan internasional, kata Nursalim, yakni ingin memberikan pengalaman kepada mahasiswa agar mengetahui bagaimana proses pendidikan di luar negeri.

Selain itu, FIP juga punya program outing class. Program, ini dilakukan saat memasuki dua pertemuan di akhir atau tengah semester, dan berlangsung selama dua minggu. Program ini bisa diikuti semua jenjang sarjana, magister, ataupun doktor dengan tujuan tiga negara, yakni Malaysia, Singapura, dan Thailand.  

“Februari ini, ada 14 mahasiswa yang akan berangkat ke Singapura dan Malaysia. Siapapun yang mau ikut dipersilahkan, tidak harus mahasiswa internasional. Karena memang tujuannya merasakan kuliah, berkunjung ke sekolah di negara tujuan, dan mengetahui proses pembelajarannya,” jelas Nursalim.

Berkaitan dengan upaya Unesa meningkatkan pemeringkatan dunia, Guru Besar Bidang Ilmu Konseling Individu itu mengatakan bahwa Direktorat Urusan Internasional (KUI) Unesa akan menggandeng FIP untuk berbagi pengalaman, jaringan, dan tips bagaimana menggiatkan mobilitas internasional yang lebih kuat di seluruh fakultas.

Nursalim memiliki cara tersendiri untuk menggaet perhatian komunitas internasional. Caranya, dengan menjaga kolaborasi dan komunikasi dengan dunia luar. FIP biasanya mencatatkan pengalaman seluruh pelaksanaan program di website fakultas. “Ini salah satu cara kami untuk menggaet perhatian komunitas internasional,” tandasnya sedikit berbagi tips. @TimMajalahUnesa

FBS Penyumbang Terbesar Kegiatan Mobilitas Internasional

Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) menjadi penyumbang terbesar kegiatan mobilitas internasional Unesa. Hal itu, salah satunya didorong keragaman budaya dan bahasa yang dimiliki fakultas yang berdiri sejak 1965 itu.

Hal itu disampaikan Dekan FBS, Syafi’ul Anam, PhD. Ia mengatakan, FBS memiliki beberapa program internasional yang selalu menjadi incaran mahasiswa dan dosen, baik di bidang pendidikan maupun nonkependidikan.

FBS, terang Dekan lulusan Australia itu, memiliki kelas rintisan internasional di semua program studi. Selain itu, program seperti visiting lecturer dan adjunct professor juga sering dilaksanakan. Ada yang dari Inggris dan Malaysia. Adapula pengajar native speaker di prodi S1 Sastra Inggris, S1 Pendidikan Bahasa Inggris, S1 Pendidikan Bahasa Mandarin dan S1 Pendidikan Bahasa Jepang.

“Pada 2024, total ada 108 mahasiswa yang melakukan mobilitas internasional dengan konversi 20 SKS. Terbaru, Februari kemarin, ada 35 mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni yang berangkat menjalani program magang internasional selama dua bulan di Thailand,” ujar dosen kelahiran Jombang 1978 itu.  

Selain itu, FBS juga punya program pertukaran mahasiswa, PLP, magang, KKN Tematik, sea teacher dan summer course di Arab Saudi, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, Spanyol, Hungaria, hingga Lithuania.  

“Untuk program magang, prodi S1 bahasa Jepang menjadi yang paling banyak mengirimkan mahasiswa ke Negeri Sakura. Setiap tahun, hampir semua mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Jepang semester 6 dan 7 berangkat magang baik di bidang transportasi, perhotelan maupun pariwisata,” terangnya.

Sementara untuk dosen, jelas Syafi’, terdapat kolaborasi penelitian, konferensi internasional, dan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Internasional. Tujuannya untuk mendorong joint research internasional dan akan diberikan pendanaan dari fakultas.

“Kami mendorong international mobility, terutama untuk mahasiswa dengan mencari skema yang biayanya terjangkau dan kami bisa membantu. Seperti magang di Thailand yang baru saja berangkat, mereka cuma membayar tiket PP Indonesia-Thailand. Asrama, makan, dan akomodasi lokal ditanggung pihak mitra,” terangnya.

“Lain lagi dengan mobilitas mahasiswa di Makkah, Jeddah, dan Filipina mereka dibiayai fakultas,” tambahnya.

Fakultas juga mendorong dosen untuk mengajar di luar negeri, bukan satu atau dua tatap muka tapi satu semester. Kegiatan ini didanai fakultas dan bersifat kompetitif. Dengan suntikan itu, Syafi’ berharap seluruh prodi punya inisiatif untuk melakukan mobilitas internasional.

“Karena tahun lalu, ada dosen prodi S1 Pendidikan Jepang yang mengajar di Nagoya University. Saya harap banyak yang mengikuti jejaknya, karena kami menyediakan fasilitas pendanaan,” tukasnya.

Selain itu, tambah Syafi’, saat ini ada dua prodi di FBS, yakni S1 Sastra Inggris dan S1 Pendidikan Bahasa Mandarin yang melakukan sinkronisasi kurikulum double degree dengan kampus luar negeri. “Targetnya bisa menerima mahasiswa baru angkatan 2025,” pungkasnya. @TimMajalahUnesa

Perbanyak Relasi Internasional dari Asia hingga Eropa

Kerja sama internasional yang potensial, tentu akan terus dilakukan Unesa sebagai bagian dari mobilitas internasional. Salah satunya, dengan memperbanyak relasi tidak hanya menyasar kawasan Asia, tapi juga benua Eropa.

Korprodi S1 Manajemen Pendidikan FIP Unesa, Dr Syunu Trihantoyo, SPd, MPd mengatakan, ekspansi dalam menjalin kerja sama terus dilakukan oleh prodi MP bukan hanya nasional tapi juga internasional. “Sebab instansi skala nasional saja tidak cukup,” ujarnya.

Dalam konteks manajemen pendidikan, terang Syunu, menjalin kerja sama yang potensial dan sesuai dengan keilmuan menjadi hal yang sangat diperhatikan dosen kelahiran 1987 itu. Berbagai program internasional yang dilakukan mencakup pertukaran mahasiswa, magang, asistensi mengajar, dan visiting lecturer and professor di Malaysia, Hong Kong, Thailand, Australia, dan Filipina.

“Pemikiran ini datang dari beberapa dosen prodi yang sebelumnya pernah terlibat dalam Non-Governmental Organizations (NGOs) internasional sebelum akhirnya bergabung dengan kampus bermott Growing with Character ini,” ungkap Syunu.

Relasi yang dimiliki pun tak hanya di Asia, tapi hingga ke Benua Eropa. Hubungan inilah, menurut Syunu, yang akhirnya membuat prodi dengan sebutan MP ini bisa melakukan mobilitas akademik di berbagai belahan dunia.

“Jadi, misalnya, saat pelaksanaan MBKM, mahasiswa tetap apply melalui laman MBKM, tapi sebelumnya kami sudah ada kerja sama dengan mitra tersebut, sehingga peluang diterimanya lebih besar,” terangnya.  

Selain itu, MP juga melakukan kunjungan lembaga atau instansi ke berbagai relasi untuk membahas seputar kontrak yang berkaitan dengan desain pelaksanaannya. Seperti halnya yang dilakukan di Malaysia dan Thailand.

Kerja sama yang sudah rutin dilakukan setiap semester, ungkap Syunu, salah satunya dengan Universiti Malaya (UM) yakni mobilitas dosen. Fokusnya adalah dalam pengajaran manajemen pendidikan dan pembuatan keputusan, baik dosen dan profesor dari Unesa ke UM atau sebaliknya.

“Kami akan terus mempertahankan dan meningkatkan kualitas dari international mobility yang sudah kami lakukan. Namun, juga tetap melakukan ekspansi lanjutan seperti ke Jepang dan Eropa,” ucap Syunu.

“Dengan record dan pondasi yang dibangun, ini akan menambah wawasan dan kepercayaan diri mahasiswa di lingkungan internasional,” tambahnya.

Dimulai dari Kelas Rintisan Internasional

Sementara itu, prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unesa menyelenggarakan mobilitas internasional sejak 2021, yang dimulai dari kelas rintisan internasional. Hal tersebut disampaikan Korprodi S1 Ilmu Komunikasi, Dr Anam Miftakhul Huda, SKom, MIkom.

Menurut Anam, keberadaan kelas rintisan itidak boleh hanya menjadi kelas dengan pengantar bahasa Inggris, tetapi juga harus melaksanakan belajar atau kunjungan ke luar negeri. “Jangan sampai namanya saja yang internasional, tapi kegiatannya tidak, itu akan sangat disayangkan,” imbuhnya.

Beberapa kegiatan mobilitas internasional yang sudah dilakukan di prodi Ilkom antara lain kredit transfer, summer course, magang, KKN Kemanusiaan, kolaborasi penelitian, akademik pengajaran dan pertukaran dosen di Malaysia, Thailand, Tiongkok, serta Korea Selatan.

Prodi Ikom, lanjutnya, berusaha untuk menjaga kolega di kawasan Asia terlebih dulu sebelum menjangkau yang lebih luas. Beberapa kampus yang sering menjadi target program mobilitas yakni Universitas Utara Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia, dan INTI International University.

“Tahun ini akan dibuka kelas internasional yang memang terseleksi sejak proses penerimaan mahasiswa baru. Awalnya, kelas rintisan internasional berasal dari mahasiswa yang berminat saja,” beber Anam.

Itulah sebabnya, menurut dosen kelahiran Blitar ini mahasiswa masih perlu didorong untuk melakukan kegiatan internasional. Tentu berbeda, jika sedari awal sudah mempersiapkan diri.

“Harapannya semua pihak, baik dosen maupun mahasiswa mendukung. Karena berkembangnya Ikom menjadi prodi yang sekarang tak lepas dari dukungan banyak pihak,” tutupnya. @TimMajalahUnesa

Cerita Seru, Mahasiswa yang Mengikuti Dua Program Mobilitas Internasional Unesa

Rasakan Pengalaman Berharga dari Sistem Pendidikan, Bahasa hingga Budaya

Menjalani program pertukaran pelajar internasional merupakan impian banyak mahasiswa. Sebab, kesempatan itu tidak hanya membuka wawasan global tetapi juga menjadi batu loncatan untuk meningkatkan keterampilan akademik dan sosial.

Pengalaman menarik disampaikan Gita Ayu Permatasari, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa yang memiliki pengalaman luar biasa melalui dua program internasional sekaligus, yaitu UGMA (Unesa Global Mobility Award) di Korea Selatan dan SEA Teacher di Filipina.

Selama menjalani program 2 semester itu, perempuan yang akrab disapa Gita ini, tak hanya belajar di universitas luar negeri, tetapi juga merasakan langsung perbedaan sistem pendidikan, budaya, hingga tantangan hidup di negeri orang.

Ketertarikan Gita terhadap program internasional berawal dari kegemarannya terhadap budaya luar negeri, khususnya K-Pop dan drama Korea. Sejak kecil, ia selalu bermimpi pergi ke luar negeri. “Ketertarikan saya pada So Nyeo Shi Dae (SNSD) dan Super Junior, membuat saya semakin ingin menjelajahi dunia dan mengenal budaya lain,” ujarnya.

Dari situlah, ia mulai mencari peluang hingga akhirnya mengetahui program UGMA melalui sosial media official Unesa. Dengan tekad kuat, ia pun mengikuti seleksi cukup ketat hingga berhasil lolos mengikuti dua program dalam dua semester berturut-turut.

Saat memasuki semester 6, perempuan kelahiran Gresik ini mendapatkan kesempatan emas belajar di Saekyung University, Yeongwol, Korea Selatan melalui program UGMA. Ini menjadi pengalaman pertamanya merasakan sistem pendidikan yang berbeda dengan di negara asalnya.

“Setiap sesi belajar berlangsung 50 menit, diikuti dengan istirahat 10 menit secara berulang selama 3 jam. Menurut saya, ini sistem yang efektif karena membuat mahasiswa tetap fokus tanpa merasa jenuh,” ceritanya.

Tidak hanya belajar di kelas, mahasiswi angkatan 2021 ini juga mengikuti berbagai program unik selama menjalani program, seperti kursus bahasa Korea, taekwondo, fotografi, hingga pelatihan CPR di pemadam kebakaran.

“Paling berkesan ketika saya berkesempatan menghadiri pertemuan dengan walikota setempat dan melakukan rafting di Sungai Dong bersama mahasiswa internasional lainnya,” jelasnya.

Namun, bukan berarti perjalanan yang ia dambakan tanpa hambatan. Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi adalah kendala bahasa. Sebab, banyak orang Korea tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga Gita harus cepat beradaptasi dengan belajar bahasa Korea.

Beruntung, Gita dipertemukan dengan orang-orang baik di sekitarnya untuk bisa survive di negara orang. Awalnya, ia agak canggung karena perbedaan budaya, tetapi lama-kelamaan mendapatkan teman dekat yang mengenalkan  ada budaya Korea, seperti mencoba makanan khas dan destinasi wisata.

Menjadi Guru di Filipina

Setelah menyelesaikan program di Korea, Gita tidak berpuas diri atas apa yang didapatkan. Ia pun melanjutkan pengalaman melalui program SEA Teacher di Filipina pada semester 7. SEA Teacher merupakan program pertukaran mahasiswa yang mengembangkan kemampuan untuk menjadi pengajar di lembaga pendidikan.

Di Filipina, Gita ditempatkan di Basic Education School, University of Saint Louis. Ia mengajar di kelas 7 dan 10. Menurut Gita, sistem pendidikan di Filipina cukup berbeda dengan di Indonesia. Di sana, bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar utama, dan pembelajaran lebih menekankan pada pemahaman sastra.

“Mereka tidak hanya belajar sastra Inggris, tetapi juga mengeksplorasi Roman Literature dan Greek Mythology. Pendekatan ini berbeda dengan di Indonesia yang lebih berfokus pada tata bahasa dan peningkatan keterampilan berkomunikasi,” ucapnya.

Sebagai SEA Teacher, Gita harus menyiapkan lesson plan, menjalankan evaluasi mengajar mingguan, dan menyesuaikan metode pengajaran dengan karakter siswa. Setelah mengajar, ia langsung mendapat sesi evaluasi individu. “Setiap minggu diadakan evaluasi bersama dengan mata pelajaran lainnya. Hal ini, membantu saya mencari kelemahan dalam mengajar,” terangnya.

Ia menceritakan tantangan terbesar selama menjalani program adalah mencari makanan halal. Sebab, mayoritas makanan di sana (Filipina) tidak memiliki label halal. Karena itu, ia harus berhati-hati terhadap makanan di sana, karena kebanyakan makanan nonhalal.

Dari pengalamannya mengikuti program internasional selama 2 semester, Gita melihat perbedaan signifikan antara sistem pendidikan di Korea dan Filipina. Di Korea, pendidikan lebih fokus pada persiapan ujian masuk pendidikan yang lebih tinggi, sehingga tekanan akademiknya sangat tinggi.

“Siswa di sana belajar dengan sangat serius, bahkan hingga larut malam. Sementara di Filipina, mereka lebih mengutamakan pengembangan keterampilan dan pembelajaran aktif, sehingga terasa lebih santai tetapi tetap aktif,” cerita putri dari pasangan Tubihari dan Dia Hanik itu.

Mengikuti dua program internasional ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi Gita. Ia belajar bagaimana beradaptasi dengan budaya baru, bekerja dalam tim, dan berkomunikasi dengan orang dari berbagai latar belakang.

“Saya menyadari bahwa pendidikan di setiap negara memiliki kelebihan masing-masing. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa fleksibilitas dan keterbukaan terhadap hal baru sangat penting,” tandasnya.

Ke depan, Gita berharap bisa kembali mengikuti program internasional lainnya. Ia bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri ke New Zaeland dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) atau New Zealand Scholarship.

“Saya ingin ke New Zealand karena sistem pendidikannya diakui secara internasional berkualitas tinggi. Selain itu, New Zealand dikenal dengan lingkungan belajar yang aman, ramah, dan multikultural,” ungkapnya.

Kepada mahasiswa Unesa, Gita memberi pesan dan motivasi agar berani mencoba dan tidak takut gagal. Ia menegaskan bahwa kesempatan itu tidak akan datang dengan sendirinya. Kalau ada program ke luar negeri, jangan ragu untuk mendaftar. Meskipun seleksi ketat, pengalaman yang didapat jauh lebih berharga.

“Jangan takut keluar dari zona nyaman, karena dari sanalah kita bisa tumbuh dan berkembang membuka jendela dunia,” pungkasnya memberi motivasi. @TimMajalahUnesa

Cerita Inspiratif Dosen Unesa Jadi Adjunct Lecturer di Thailand

Perluas Wawasan Akademik dan Kolaborasi di Kancah Internasional

Selain berbagi ilmu, menjadi adjunct lecture di negeri Gajah Putih, Thailad juga memperluas wawasan akademik serta membangun kolaborasi antar negara.

Kesempatan mengajar di luar negeri menjadi pengalaman berharga bagi Shelly Andari, SPd,  MPd. Dosen Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Unesa itu terpilih sebagai adjunct lecturer di Thaksin University, Thailand selama satu bulan penuh.

Di kampus itu, ia mengajar beberapa program studi, termasuk Teknologi Pendidikan dan PG-PAUD. Mata kuliahnya pun beragam seperti Manajemen Kelas, Manajemen Kurikulum, dan Supervisi Pendidikan. “Selain itu, saya juga ditunjuk sebagai asisten dosen S2,” ungkapnya.

Shelly juga mengamati adanya perbedaan budaya akademik antara di Thailand dan Indonesia. Salah satunya dalam penggunaan seragam. Mahasiswa S-1 di Thailand mengenakan seragam putih-biru, sedangkan untuk mahasiswa S-2 dan S-3 tampil formal dengan blazer dan jas.“Mahasiswa di sana sangat rapi dan disiplin. Seragam menjadi identitas yang membedakan jenjang pendidikan mereka,” terangnya.

Mengajar di lingkungan internasional tentu menghadirkan tantangan tersendiri bagi Shelly. Salah satunya adalah bahasa. Meski beberapa mahasiswa sudah fasih berbahasa Inggris, tapi sebagian besar mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Thailand.“Saya sering menggunakan Google Translate untuk berkomunikasi dengan mahasiswa karena tidak semua dari mereka bisa berbahasa Inggris,” tuturnya.

Selain itu, perbedaan budaya akademik dan adat istiadat juga menjadi tantangan tersendiri. Namun, yang membuat Shelly senang adalah keramahan para dosen, mahasiswa, dan masyarakat setempat. Itu pula yang membantu Shelly lebih cepat beradaptasi. “Budaya dan adat-istiadat di sana sangat kental. Saya harus bersikap hormat dan saling toleransi,” ujarnya.

Selain mengajar, Shelly juga berkesempatan melakukan penelitian bersama tim profesor dari Faculty of Education, Thaksin University. Hasil kolaborasi itu, bahkan telah dipublikasikan dalam prosiding terindeks scopus. “Dampaknya luar biasa bagi saya sebagai dosen. Tidak hanya mengajar, tetapi juga melakukan riset bersama akademisi internasional,” tambahnya.

Selain itu, ia juga mendampingi mahasiswa Unesa dalam program Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) di sekolah-sekolah Thailand. Untuk mobilitas, ia sering menggunakan tuk-tuk, yang merupakan transportasi khas Thailand. “Pengalaman paling menarik adalah naik tuk-tuk menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, saya menikmati pemandangan dan keramahan warga setempat,” katanya.

Setelah sebulan penuh di Thailand, Shelly tidak berhenti di situ. Ia menggagas professional learning community (PLC) Indonesia-Thailand, sebuah wadah pertukaran ilmu dan praktik terbaik antarpendidik dari kedua negara. “Komunitas ini mengadakan berbagai kegiatan seperti workshop dan supervisi bersama untuk meningkatkan kualitas pendidikan,” terangnya.

Bagi Shelly, pengalaman yang didapatkan selama mengajar di luar negeri, semakin memotivasinya untuk mendorong mahasiswa agar memiliki eksposur internasional. Pengalaman mengajar di luar negeri, jelasnya, membuka wawasan bahwa ilmu pengetahuan tidak terbatas oleh wilayah. “Mahasiswa Indonesia harus berani keluar dari zona nyaman dan mencari pengalaman global,” tandasnya.

Ke depan, ia berharap semakin banyak dosen dan mahasiswa yang mengikuti program akademik serupa agar Unesa semakin dikenal sebagai kampus unggul dan adaptif terhadap perubahan global. Baginya, keinginan besar harus diimbangi dengan tindakan nyata. Rasa ingin tahu yang tinggi harus disertai keberanian untuk melangkah dan menghadapi tantangan.

“Terus tingkatkan profesionalisme agar kita tidak hanya sebatas mengajar di dalam kelas, tetapi juga berkontribusi di lingkungan yang lebih luas,” pungkasnya. @TimMajalahUnesa

Bagikan artikel ini

id_IDID