
Cerita Seru, Mahasiswa yang Mengikuti Dua Program Mobilitas Internasional Unesa
Rasakan Pengalaman Berharga dari Sistem Pendidikan, Bahasa hingga Budaya
Menjalani program pertukaran pelajar internasional merupakan impian banyak mahasiswa. Sebab, kesempatan itu tidak hanya membuka wawasan global tetapi juga menjadi batu loncatan untuk meningkatkan keterampilan akademik dan sosial.
Pengalaman menarik disampaikan Gita Ayu Permatasari, mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa yang memiliki pengalaman luar biasa melalui dua program internasional sekaligus, yaitu UGMA (Unesa Global Mobility Award) di Korea Selatan dan SEA Teacher di Filipina.
Selama menjalani program 2 semester itu, perempuan yang akrab disapa Gita ini, tak hanya belajar di universitas luar negeri, tetapi juga merasakan langsung perbedaan sistem pendidikan, budaya, hingga tantangan hidup di negeri orang.
Ketertarikan Gita terhadap program internasional berawal dari kegemarannya terhadap budaya luar negeri, khususnya K-Pop dan drama Korea. Sejak kecil, ia selalu bermimpi pergi ke luar negeri. “Ketertarikan saya pada So Nyeo Shi Dae (SNSD) dan Super Junior, membuat saya semakin ingin menjelajahi dunia dan mengenal budaya lain,” ujarnya.
Dari situlah, ia mulai mencari peluang hingga akhirnya mengetahui program UGMA melalui sosial media official Unesa. Dengan tekad kuat, ia pun mengikuti seleksi cukup ketat hingga berhasil lolos mengikuti dua program dalam dua semester berturut-turut.
Saat memasuki semester 6, perempuan kelahiran Gresik ini mendapatkan kesempatan emas belajar di Saekyung University, Yeongwol, Korea Selatan melalui program UGMA. Ini menjadi pengalaman pertamanya merasakan sistem pendidikan yang berbeda dengan di negara asalnya.
“Setiap sesi belajar berlangsung 50 menit, diikuti dengan istirahat 10 menit secara berulang selama 3 jam. Menurut saya, ini sistem yang efektif karena membuat mahasiswa tetap fokus tanpa merasa jenuh,” ceritanya.
Tidak hanya belajar di kelas, mahasiswi angkatan 2021 ini juga mengikuti berbagai program unik selama menjalani program, seperti kursus bahasa Korea, taekwondo, fotografi, hingga pelatihan CPR di pemadam kebakaran.
“Paling berkesan ketika saya berkesempatan menghadiri pertemuan dengan walikota setempat dan melakukan rafting di Sungai Dong bersama mahasiswa internasional lainnya,” jelasnya.
Namun, bukan berarti perjalanan yang ia dambakan tanpa hambatan. Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi adalah kendala bahasa. Sebab, banyak orang Korea tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga Gita harus cepat beradaptasi dengan belajar bahasa Korea.
Beruntung, Gita dipertemukan dengan orang-orang baik di sekitarnya untuk bisa survive di negara orang. Awalnya, ia agak canggung karena perbedaan budaya, tetapi lama-kelamaan mendapatkan teman dekat yang mengenalkan ada budaya Korea, seperti mencoba makanan khas dan destinasi wisata.
Menjadi Guru di Filipina
Setelah menyelesaikan program di Korea, Gita tidak berpuas diri atas apa yang didapatkan. Ia pun melanjutkan pengalaman melalui program SEA Teacher di Filipina pada semester 7. SEA Teacher merupakan program pertukaran mahasiswa yang mengembangkan kemampuan untuk menjadi pengajar di lembaga pendidikan.
Di Filipina, Gita ditempatkan di Basic Education School, University of Saint Louis. Ia mengajar di kelas 7 dan 10. Menurut Gita, sistem pendidikan di Filipina cukup berbeda dengan di Indonesia. Di sana, bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar utama, dan pembelajaran lebih menekankan pada pemahaman sastra.
“Mereka tidak hanya belajar sastra Inggris, tetapi juga mengeksplorasi Roman Literature dan Greek Mythology. Pendekatan ini berbeda dengan di Indonesia yang lebih berfokus pada tata bahasa dan peningkatan keterampilan berkomunikasi,” ucapnya.
Sebagai SEA Teacher, Gita harus menyiapkan lesson plan, menjalankan evaluasi mengajar mingguan, dan menyesuaikan metode pengajaran dengan karakter siswa. Setelah mengajar, ia langsung mendapat sesi evaluasi individu. “Setiap minggu diadakan evaluasi bersama dengan mata pelajaran lainnya. Hal ini, membantu saya mencari kelemahan dalam mengajar,” terangnya.
Ia menceritakan tantangan terbesar selama menjalani program adalah mencari makanan halal. Sebab, mayoritas makanan di sana (Filipina) tidak memiliki label halal. Karena itu, ia harus berhati-hati terhadap makanan di sana, karena kebanyakan makanan nonhalal.
Dari pengalamannya mengikuti program internasional selama 2 semester, Gita melihat perbedaan signifikan antara sistem pendidikan di Korea dan Filipina. Di Korea, pendidikan lebih fokus pada persiapan ujian masuk pendidikan yang lebih tinggi, sehingga tekanan akademiknya sangat tinggi.
“Siswa di sana belajar dengan sangat serius, bahkan hingga larut malam. Sementara di Filipina, mereka lebih mengutamakan pengembangan keterampilan dan pembelajaran aktif, sehingga terasa lebih santai tetapi tetap aktif,” cerita putri dari pasangan Tubihari dan Dia Hanik itu.
Mengikuti dua program internasional ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi Gita. Ia belajar bagaimana beradaptasi dengan budaya baru, bekerja dalam tim, dan berkomunikasi dengan orang dari berbagai latar belakang.
“Saya menyadari bahwa pendidikan di setiap negara memiliki kelebihan masing-masing. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa fleksibilitas dan keterbukaan terhadap hal baru sangat penting,” tandasnya.
Ke depan, Gita berharap bisa kembali mengikuti program internasional lainnya. Ia bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri ke New Zaeland dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) atau New Zealand Scholarship.
“Saya ingin ke New Zealand karena sistem pendidikannya diakui secara internasional berkualitas tinggi. Selain itu, New Zealand dikenal dengan lingkungan belajar yang aman, ramah, dan multikultural,” ungkapnya.
Kepada mahasiswa Unesa, Gita memberi pesan dan motivasi agar berani mencoba dan tidak takut gagal. Ia menegaskan bahwa kesempatan itu tidak akan datang dengan sendirinya. Kalau ada program ke luar negeri, jangan ragu untuk mendaftar. Meskipun seleksi ketat, pengalaman yang didapat jauh lebih berharga.
“Jangan takut keluar dari zona nyaman, karena dari sanalah kita bisa tumbuh dan berkembang membuka jendela dunia,” pungkasnya memberi motivasi. @Ja’far
Bagikan artikel ini