Keterpengaruhan dalam Penulisan Kreatif

DALAM konteks proses kreatif penulis, semakin ke sini saya semakin yakin bahwa tidak ada karya kreasi manusia 100% asli, sebab tidak ada manusia berkarya dari nol. Untuk berkarya, dia memiliki ide matang yang harus diekspresikan, dan untuk sampai di situ dia memiliki bekal pengetahuan (prior knowledge) dan mendapat stimulus sebagai pemicu (trigger).

Dengan kata lain, inspirasi (calon embrio karya) hadir pada seseorang ketika dia memiliki bekal pengetahuan tentang sesuatu dan mendapatkan pemicu yang tepat. Bekal pengetahuan itu sendiri telah diperolehnya dari membaca, mengamati, berbincang dengan orang lain, dan sebagainya.

Orang yang tidak memiliki bekal pengetahuan tentang perpajakan, misalnya, dia tidak akan terinspirasi spesifik tentang perpajakan, meski dia membaca berbagai informasi tentang pajak. Jika diminta untuk berbicara atau menulis, ucapan atau tulisannya pasti tidak ada isinya alias nyampah. Maka, membaca, mengamati, berbincang dengan orang lain, dan sebagainya membuat dia terinspirasi.

Dengan demikian, setiap penulis akan mengalami keterpengaruhan dalam berkarya kreatif. Setiap penulis akan “meminjam” atau “menggunakan” sebagian ide penulis lain dalam menghasilkan karyanya. Dalam dunia akademik, penulis demikian disebut telah mensitasi penulis (author) lain. Dalam dunia kreatif, penulis demikian—saya kira lebih tepat dikatakan “terpengaruh”.

Dalam dunia akademik, ada cek similaritas dengan Turnitin. Pengecekan ini dikenal dengan istilah ‘cek plagiasi’—padahal yang dicek bukan tingkat perbedaannya, melainkan similaritasnya. Dengan mengetahui similaritasnya, bisa ditentukan tinggi atu rendah tingkat plagiasinya. Jika skripsi mahasiswa memiliki similaritas 10%, tingkat plagiasinya rendah, dan dia boleh maju ujian.

Nah, bagaimana dunia karya kreatif? Apakah perangkat Turnitin juga diterapkan pada karya-karya sastra seperti novel, puisi, drama, atau jurnalisme sastrawi? Sejatinya, amat mungkin Turnitin diterapkan untuk pengecekan itu. Namun, praktik itu tidak selalu digunakan untuk mengetahui orisinalitas karya kreatif, sebagaimana yang berlaku bagi karya-karya akademik.

Mengapa? Ada satu hal penting dalam dunia kreatif yang tidak bisa dideteksi dengan Turnitin. Yakni, penulis kreatif menulis karya yang terinspirasi dalam tataran ide atau struktur penulisannya. Karena ini bergerak dalam tataran ide atau struktur penulisan yang intangible (abstrak, imaterial, tak terlihat, tak tersentuh), bagaimana membuktikan kemiripan karya seorang penulis dengan karya penulis lainnya?

Pernah penyair Chairil Anwar dituduh bahwa puisinya “Karawang Bekasi” karya plagiasi dari puisi penyair Amerika Serikat Archibald MacLeish “The Young Dead Soldiers Do Not Speak”. Hal ini menjadi perbincangan lama dalam dunia sastra Indonesia, meski HB Jassin menulis “…meskipun karyanya itu terbilang mirip tapi tetap ada rasa Chairil di dalamnya.” Ada pula novelis yang konon menjiplak dari novel Stephen Crane The Red Badge of Courage, tetapi tuduhan itu tak sepenuhnya benar.

Saya pikir, plagiarisme karya itu menyangkut bentuk material (tangibel) yang dibuktikan kebenarannya. Plagiarisme ya tetap plagiarisme. Namun, karena proses kreatif penulis berada dalam tataran ide dan struktur dasar yang intangible, itu lebih layak dikatakan sebagai keterpengaruhan, dan layak ditoleransi. Dalam konteks Afrika, Olofinsao (2017) menekankan bahwa pengaruh tidak meniadakan orisinalitas, tetapi justru menunjukkan daya cipta. Intertekstualitas umum di kalangan penulis Afrika dan bahwa mengakui pengaruh dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kedewasaan.

Itulah sebabnya di atas saya katakan bahwa penulis kreatif pada dasarnya mengalami keterpengaruhan oleh penulis lain—kecuali dia benar-benar menulis karya yang ide dan struktur luarnya memiliki kesamaan atau kemiripan tinggi dengan karya penulis lain. Sekali lagi, keterpengaruhan itu ada dalam tataran ide atau struktur dasar penulisannya.

Ketika saya menonton film laga kolosal India Baahubali: The Beginnging (2015) dan Baahubali: The Conclusion (2017), semula saya bertanya-tanya dalam hati, “Sepertinya ada yang mirip antara tokoh-tokoh film ini dengan tokoh Mahabharata dan Ramayana. Tapi mana yang mirip ya?” Setelah menonton, saya bersemangat untuk melacak berbagai sumber, dan menemukan jawaban atas penasaran saya tersebut.

Ternyata benar, untuk menulis film-film tersebut, Vijayendra Prasad, penulis cerita dan ayah sutradara Rajamouli, menggambarkan Sivagami sebagai bayangan Dewi Kunti (ibunda Pandawa) dan Kaikeyi (ibunda Rama), dan Devasena sebagai sosok pejuang wanita seperti Dewi Sinta (istri Rama) yang menyimbolkan dedikasi, pengorbanan-diri, keberanian, dan kesucian.

Sementara itu, tema heroisme Baahubali mirip tema dalam Ramayana dan Mahabharata. Amarenda Baahubali mirip Shri Rama dalam Ramayana, sedangkan Bhallaladeva mirip Duryodana dalam Mahabharata. Lalu, Bijjaladeva (ayah Bhallaladeva, suami Sivagami) merupakan representasi Sangkuni tokoh pintar tapi licik dalam epos Mahabharata; sementara kematian Bhadrudu dalam film ini mirip kematian Jayadrata dalam Mahabharata. Amarendra/Mahendra, diperankan oleh Prabhas, merupakan tokoh campuran lima Pandawa.

 Lalu, film Baahubali 2 ber-setting pedesaan dan pegunungan India tatkala Mahendra tinggal dan dibesarkan Sanga. Juga setting kerajaan Mahismati yang sangat megah. Kemegahan ini mengingatkan kita pada film perang sangat terkenal, yakni Troy (2004); sementara adegan-adegan laganya mirip dengan film-film China seperti Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) atau Monggol: The Rise of Gengis Khan (2007).

Pertanyaannya, apakah dengan kemiripan dari tataran ide, termasuk penciptaan karakter tokoh tersebut, merupakan plagiasi berkat inspirasi yang hadir karena Vijayendra Prasad telah membaca atau menonton karya-karya sebelumnya? Agaknya istilah katerpengaruhan lebih bersahabat dari pada plagiasi, sebab secara material (baik ide maupun struktur) tidak bisa dibuktikan secara jelas.

Paparan di atas telah menjawab pertanyaan itu, termasuk contoh kasus penciptaan dan produksi film Baahubali 1-2. Sekali lagi, penulis harus tetap memegang integritas dan tanggungjawab sebagai penulis yang bermartabat. Kata Gol A Gong (2022), dalam sekapur sirih bukunya, “Pada Akhirnya, Penulis Mengabdi kepada Pembacanya” secara bijaksana.[]

* Much. Khoiri (nama pena Dr. Much. Koiri, M.Si) adalah dosen FBS Unesa, sponsor literasi, editor/penulis berlisensi, menulis 79 buku. Buku terbaru “Becoming a Creative Writer: Proses Kreatif Menuju Buku Paling Dicari” (2025).

Bagikan artikel ini

id_IDID