Prof. Nadi Suprapto, M.Pd., Ph.D., Direktur Inovasi, Pemeringkatan dan Publikasi Ilmiah, Unesa

Olahraga dan ‘Hukum Fisika’ Kehidupan

Siapa sangka, di balik capaian prestisiusnya sebagai dosen berprestasi di tingkat nasional dan hiruk pikuknya mengawal pemeringkatan, inovasi dan publikasi di Unesa, ternyata guru besar bidang pendidikan fisika itu menggemari olahraga, tepatnya sepak bola. Bukan tanpa alasan, stadion dan lapangan menjadi miniatur kehidupan baginya.

Baginya, menyaksikan pertandingan sepak bola menjadi pelipur lara ketika dunia terasa begitu riuh dan beban kerja yang terus berdatangan. Di tengah padatnya tanggung jawab, sepak bola menjadi hiburan tanpa sekat untuk menikmati hidup dalam bentuk yang paling sederhana: sorak-sorai penonton, gemuruh stadion, dan harmoni antara kerja sama, strategi, dan visi permainan.

Saat menyaksikan pertandingan, pra kelahiran Sidoarjo ini tak sekadar melihat permainan, tetapi spirit, keberanian menantang waktu, dan semangat pantang menyerah di setiap tendangan yang tercipta. “Sepak bola itu hidup. Ada kemenangan yang dirayakan, ada kekalahan yang diterima, semuanya mengajarkan arti dari perjuangan dan keikhlasan,” ucapnya.

Di balik sorotan lampu stadion atau layar televisi, ia menemukan pengingat akan nilai-nilai kehidupan. Sepak bola mengajarkan makna kemenangan sejati tak hanya datang dari hasil akhir, tetapi dari sebuah proses, dari usaha yang jujur, dan dari hati yang mau belajar menerima setiap hasil dengan lapang dada.

Permainan bola besar di lapangan hijau sudah mendarah daging sejak duduk di bangku sekolah dasar. Olahraga ini menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya yang penuh semangat dan rasa ingin tahu.

Masih kuat di benak, langkah kecilnya menyusuri jalan setapak menuju lapangan dekat rumah, membawa seonggok harapan untuk mencetak gol di bawah langit senja yang merekah, dulu.

Bola yang melambung, berputar, dan mendarat di kakinya adalah simbol kebebasan, tempat ia melepaskan segala beban kecilnya. Di sana, di lapangan berdebu atau sekadar hamparan tanah yang disulap menjadi area permainan, ia belajar tentang kerja sama, perjuangan, dan arti sebuah kekalahan.

Hobinya merumput dan bermain dengan si kulit bundar sudah mendarah daging. Bahkan, ketika mengalami gangguan penglihatan yang membuatnya harus berkacamata, kegemarannya terhadap sepak bola masih sama.

Tampaknya, takdir dosen yang homebase di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) itu sudah digariskan sama dengan pemain bola (amatir atau profesional) lainnya di dunia.

Setelah menjadi ‘pemain’ akan bermuara menjadi pengamat, pelatih, atau naik tribun jadi penonton. “Saat penglihatan saya mulai terganggu dan harus memakai kacamata, saya berhenti bermain dan beralih menjadi penonton sampai sekarang,” kenang dosen peraih dua penghargaan Academic Leader 2024 dari Kemendiktisaintek itu.

Radio, Truk, dan Persebaya

Radio menjadi saksi  bisu, ketika suara-suara di lapangan hijau menembus kesunyian pagi dan menemani langkah kecilnya ke sawah bersama sang Ayah. Komentar dari penyiar legendaris di Radio Gelora Surabaya (RGS) membangun imajinasi tentang pertandingan seru yang terjadi jauh di sana.

Meski tak dapat melihat langsung, suara bola yang bergulir, sorak-sorai penonton, dan seruan gol menghidupkan stadion di dalam benaknya.

“Sekitar tahun 1992, kala itu saya sering membawa radio kecil saat menemani ayah ke sawah, Radio Gelora Surabaya (RGS) rutin menyiarkan pertandingan Persebaya. Saya mendengarkan dan mengikuti jalannya pertandingan dengan antusias,” ujarnya.

Beranjak remaja, cintanya pada sepak bola semakin besar. Ia mulai rutin pergi ke stadion, dari Gelora 10 November Surabaya, Gelora Delta Sidoarjo, hingga Gelora Bung Tomo. Bahkan, ia pernah jauh-jauh menonton pertandingan di stadion PKT Bontang, Kalimantan Timur.

“Waktu itu, PKT Bontang melawan Persebaya. Rasanya luar biasa bisa mendukung tim kebanggaan meski berada di tanah rantau,” ceritanya semangat.

Momen paling berkesan baginya ketika berangkat ke Jakarta bersama keluarga dan teman-temannya naik truk, sebuah perjalanan yang lebih dari sekadar menempuh jarak. Di atas kendaraan besar itu, tawa dan canda mengalir di antara deru mesin dan semilir angin yang menerobos sela-sela terpal.

“Kala itu, tahun 1996 saya bersama rombongan berangkat ke Gelora Bung Karno, membawa harapan besar untuk menyaksikan Persebaya berlaga di babak empat besar Liga Indonesia,” kenangnya.

Olahraga jadi Regangan

Dalam kesibukan mengemban tugas di Unesa, sepak bola menjadi sarana Prof Nadi untuk menyeimbangkan hidupnya, ia menyebut hobi ini sebagai bentuk penyeimbang antara tekanan dan regangan.

“Dalam fisika, ada yang namanya modulus elastisitas, yakni tegangan dibagi regangan. Agar hidup tidak stres, kita harus menyeimbangkannya. Karena itu, menonton sepak bola, baik menonton langsung maupun melalui layar kaca, menjadi cara saya untuk refreshing,” imbuhnya.

Menonton bola bersama keluarga di rumah juga menjadi momen kebersamaan yang tak tergantikan, sebuah rutinitas sederhana yang menghadirkan kehangatan. Dalam balutan suasana santai, ruang tamu seolah menjelma menjadi miniatur stadion, lengkap dengan sorak-sorai, celotehan, dan ketegangan yang terasa nyata saat gol hampir tercipta.

“Saya sering membuat tantangan kecil untuk keluarga saya, seperti menjanjikan hadiah jika tim favorit mereka menang. Bahkan, saya pernah mengajak anak saya ke stadion untuk menonton pertandingan Indonesia melawan Malaysia di Gelora Delta Sidoarjo. Kami mengenakan kaus merah putih,” ucapnya.

Bagi Prof. Nadi, sepak bola adalah cerminan kehidupan. Dalam permainan, ada menang, kalah, dan seri. Begitu pula dalam hidup, tidak semua yang diusahakan akan langsung terwujud.

“Sepak bola mengajarkan kita untuk menerima takdir Tuhan. Kadang usaha kita membuahkan hasil, kadang tertunda, atau bahwa diganti dengan hal yang lebih baik. Di situ kita belajar sabar, berdoa, dan terus berusaha,” tuturnya.

Ia juga terinspirasi oleh filosofi kerja sama dalam sepak bola. Menurutnya, setiap pemain memiliki peran penting untuk mendukung tim, seperti halnya dalam kehidupan professional maupun akademik. “Sepak bola mengajarkan bahwa keberhasilan bukan hasil kerja individu, tetapi kolaborasi seluruh tim,” tambahnya. (Ja’far)

Bagikan artikel ini

en_USEN