
Dr Sugeng Harianto, MSi, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Pelaporan Unesa
Sportif dan Tenang, Terinspirasi Legenda Tenis Dunia
Suara pukulan raket yang bersahutan, pantulan bola di lapangan, tetesan keringat, dan obrolan-obrolan ringan di tepian lapangan menjadi mosaik kegembiraan penghilang penat di sela-sela kesibukan. Bagi Sugeng Harianto, tenis bukan sekadar olahraga, melainkan cara menjaga kesehatan, menjalin kebersamaan, dan menciptakan kegembiraan.
Tidak seperti atlet yang menekuni olahraga sejak kecil, pria kelahiran Nganjuk ini mengenal tenis pada tahun 2005. Saat itu, ia mencoba bermain bersama teman-temannya di perumahan tanpa pengalaman sebelumnya.
“Saya dulu tidak mengenal tenis sama sekali. Awalnya hanya coba-coba, tetapi ternyata tenis itu menarik karena ada tantangan, strategi, dan tentu saja keseruan bersama teman-teman,” kenangnya.
Seiring berjalannya waktu, rasa penasaran mendorongnya untuk belajar lebih dalam. Dengan bantuan seorang pelatih, ia mulai memahami teknik dasar permainan seperti pukulan forehand dan backhand. Meskipun pelatihan itu tidak berlangsung lama, dasar-dasar yang diperolehnya cukup membantunya untuk terus berkembang.
“Saya sempat dilatih sebentar. Setelah itu, latihan sendiri dengan teman-teman, yang penting bisa menikmati permainannya,” tambahnya.
Kini, tenis menjadi bagian dari kesehariannya. Setiap Senin, Rabu, dan Jumat pagi, ia sudah berada di lapangan untuk bermain satu set sebelum memulai aktivitasnya di kampus. Ia menikmati suasana penuh energi, canda, tawa, dan persaingan sehat dengan rekan-rekannya.
“Saya usahakan main satu set di pagi hari, sekitar satu jam. Setelah itu bersiap bekerja. Jadi, sebelum masuk kantor, saya sudah merasa segar dan bersemangat,” jelasnya.
Baginya, tenis membuatnya bisa menjaga kebugaran dan menikmati kebersamaan. “Yang dicari bukan trofi, tetapi keringat, yang penting sehat dan bisa menikmati makanan favorit seperti gule, sate,” candanya.
Selama hampir dua dekade bermain tenis, Sugeng sempat mengalami kejadian yang baginya berkesan, yaitu jatuh di lapangan.
“Waktu itu, saya dan teman saya sama-sama mengejar bola, padahal bola itu sebenarnya milik saya. Tapi tiba-tiba dia juga maju, akhirnya kami bertabrakan. Saya terpelanting dan hampir membentur kursi besi di pinggir lapangan,” ujarnya.
Beruntungnya, ia tidak mengalami cedera yang serius. Alih-alih kapok, kejadian itu justru membuatnya semakin menikmati tenis.
“Orang Jawa bilang, ‘belahi selamet’, artinya celaka tapi masih selamat. Itu pengalaman yang bikin jantung berdebar, tapi tetap nggak bikin kapok main tenis,” katanya sambil tertawa.
Respect dan Sportif
Bagi pria kelahiran 1964 ini, tenis bukan sekadar olahraga fisik, tetapi juga latihan mental dan karakter. Ia belajar bagaimana menghargai pasangan bermain, menerima kekalahan dengan lapang dada, dan tidak mencari kambing hitam saat hasil pertandingan tidak sesuai harapan.
“Kadang kita bermain dengan pasangan yang kemampuannya di bawah kita, ya kita harus menghargai. Seperti dalam hidup, kerja sama itu lebih penting daripada sekadar menang,” katanya.
Kejujuran juga menjadi nilai penting dalam tenis lapangan. Karena tenis rekreasional tidak menggunakan wasit, setiap pemain harus jujur dalam menentukan apakah bola masuk atau keluar.
“Kalau bola tipis menyentuh garis, kita sendiri yang harus mengakui apakah itu masuk atau keluar. Ini mengajarkan kita untuk selalu bersikap sportif dan tidak curang,” tambahnya.
Fisolofi dari Sang Idola
Sebagai penggemar tenis tentu memiliki idola. Siapa lagi jika bukan Rafael Nadal asal Spanyol, yang dipilihnya karena memiliki gaya bermain yang tenang dan tidak mudah terpancing emosi.
“Nadal itu pemain yang cool. Dia nggak pernah menyalahkan wasit, dan tidak pernah banting raket, dan selalu sportif. Kalau kalah, dia terima. Kalau main jelek, dia tidak marah-marah sendiri, itu yang saya sukai,” tukasnya.
Selain teknik permainannya yang khas, Nadal juga memiliki ritual unik sebelum melakukan servis. “Kalau diperhatikan, sebelum servis dia selalu pegang-pegang bagian tubuh tertentu. Sampai sekarang saya masih penasaran apa filosofinya, tapi itu jadi ciri khas dia,” imbuhnya.
Terlepas dari itu, baginya, menjaga kebugaran sangat penting, terutama dalam menjalankan tugas sebagai dosen dan menjabat di kampus. “Kalau kita sehat, kita bisa bekerja dengan optimal. Sebaliknya, kalau sakit, semuanya jadi terganggu,” ujarnya.
Ia juga mencontohkan bagaimana Rektor Unesa ‘Cak Hasan’ selalu mengingatkan para sivitas untuk menjaga kesehatan. “Pak Rektor selalu menekankan pentingnya kesehatan dan ia sendiri juga selalu terlihat bugar meski kesibukannya luar biasa. Jadi, kita juga harus mengikutinya,” ulasnya.
Sugeng melihat bahwa generasi muda saat ini lebih banyak terpengaruh oleh budaya luar negeri dibandingkan dengan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga.
Ia menyayangkan bagaimana olahraga semakin jarang menjadi bagian dari gaya hidup mereka. “Anak-anak sekarang lebih sibuk dengan media sosial dan budaya global. Saya tidak bilang itu buruk, tapi kesehatan juga harus diperhatikan,” katanya.
Ia berharap generasi muda bisa menemukan hobi yang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan dan keseimbangan hidup mereka.
“Jangan Biarkan hobi hanya menjadi pelarian. Jadikan hobi sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membawa manfaat, syukur-syukur bisa meraih prestasi melalui hobi,” tuturnya memberi nasihat. @Ja’far
Bagikan artikel ini