
Standarisasi Manajemen Produksi dan Mutu Sarang Burung Walet menuju Sertifikasi HACCP
Industri sarang burung walet (Edible Swiftlet Nest/ESN) yang terus berkembang, menuntut kualitas dan keamanan produk. Selain itu, konsumen global juga ingin mencari keaslian dan jaminan kualitas produk yang dikonsumsi. Hal itulah yang mendorong Tim Peneliti Unesa bersama CV Dwi Anugrah Surabaya melakukan penelitian berjudul Standarisasi Manajemen Produksi & Mutu Edible Swiflet Nest (ESN) CV Dwi Anugrah Surabaya menuju Sertifikasi HACCP.
Ketua Tim Peneliti, Prof Dr Pirim Setiarso, MSi mengatakan, Edible Swallow Nest (ESN) atau yang lebih dikenal dengan sebutan sarang burung walet merupakan salah satu bahan pangan dari hewani yang mengandung berbagai nutrisi. Karena itu, sarang burung walet menjadi bagian komoditi pasar nasional maupun internasional yang menjanjikan dari segi ekonomi. Untuk memenuhi persyaratan pemasaran, tim peneliti Unesa bekerja sama dengan mitra CV Dwi Anugrah Surabaya mengembangkan konsumen ke ranah pasar, khususnya ke China.
“Pemasaran ESN di negari tirai bambu mensyaratkan kadar nitritnya maksimal 30 ppm. Karena itu, tim peneliti Unesa berupaya sembari mempersiapkan CV Dwi Anugrah Surabaya masuk ke pasar internasional dengan memenuhi standar internasional HACCP,” terang Pirim.
Sebagai makanan premium yang memiliki khasiat bagi kesehatan, sarang burung walet sangat diminati konsumen dari berbagai belahan dunia. Namun, sebelum sampai ke konsumen, sarang burung walet memerlukan proses pencucian sangat ketat untuk menghilangkan kontaminan seperti kotoran dan sisa bulu burung. “Untuk memastikan kebersihan pada proses ini, kualitas air menjadi faktor penting,” ujar Pirim.
Pirim mengatakan, mengacu pada standar nasional dan internasional, termasuk regulasi ketat dari pasar Tiongkok, air pencuci ESN harus terbebas dari kontaminasi nitrit, logam berat, dan mikroorganisme berbahaya. Oleh karena itu, tim peneliti bersama dengan mitra melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kualitas air yang digunakan dengan pengujian mikrobiologi dan kimia dari berbagai titik sumber—sebelum dan sesudah sistem Reverse Osmosis (RO), serta dari limbah air pendingin udara (AC).
“Parameter yang diuji meliputi Angka Lempeng Total (ALT), kapang, E. coli, Salmonella sp, coliform, Staphylococcus aureus, dan khamir, serta pH, logam berat (Cd, Pb, Hg, As, Sn), kadar nitrit, dan H₂O₂. Langkah ini menjadi bagian penting dalam upaya standarisasi mutu menuju sertifikasi HACCP, demi menjamin kualitas ESN yang aman dan layak konsumsi secara global,” terang guru besar Unesa bidang Kimia Analitiktersebut.
Tim peneliti Unesa bersama dengan CV Dwi Anugrah Surabaya, terang Pirim, menyusun perencanaan pelaksanaan program dan kegiatan meliputi kontrol kualitas air produksi pencucian sarang burung walet, kontrol kualitas bahan baku produksi ESN, optimasi dan standarisasi proses pencucian ESN, persiapan standarisasi nasional (SNI) dan persiapan standarisasi internasional hazard analysis critical control point (HACCP).
Bagi para pengusaha dan peternak sarang burung walet, jelasnya, penelitian ini memberikan solusi yang bagus untuk meningkatkan kualitas produk karena menurunkan kadar nitrit dari 80 ppm pada bahan baku ESN menjadi 30 ppm sesuai dengan SNI sehingga dapat memenuhi standar China yang lebih kecil dari 30 ppm. “Penelitian ini berhasil diturunkan kadar nitritnya sampai 8 ppm dan H2O2 0 ppm jauh di bawah standar yang dipersyaratkan China,” tambahnya.
Penelitian ini menggunakan metode secara kimia dalam menganalisis produk ESN pada CV Dwi Anugrah Surabaya menggunakan instrumen di laboratorium Kimia, FMIPA, Unesa. Selain itu, terdapat analisa di luar Unesa sesuai standar SNI dan China. Pemetaan risiko dilakukan dalam konteks HACCP, dilakukan pemenuhan standar produk makanan dari sarang walet. Termasuk, lokasi pengolahan, sanitasi limbah, sanitasi tempat proses pengolahan, kebersihan pekerja sesuai dengan standar kesehatan seperti APD.
“Untuk memenuhi standarisasi yang ditetapkan pasar internasional, maka harus melalui beberapa proses seperti standarisasi nasional Indonesia (SNI), standar China, dan stadarisasi HACCP,” ungkap Prim.
Pirim mengklaim bahwa mitra sangat diuntungkan dengan adanya penelitian ini karena selama ini berbagai usaha telah diupayakan oleh asosiasi pengolahan sarang burung walet untuk menurunkan kadar nitrit dan H2O2, tapi tidak pernah berhasil sesuai standar SNI. Akibatnya, nilai jual dari sarang burung walet hasil olahannya sangat murah. “Seteleh menerapkan hasil penelitian untuk pengolahan ESN, harganya meningkat dari 15 juta/kg menjadi 150 juta/kg,” bebernya.
Keterlibatan Mahasiswa dan Dosen
Dalam penjelasannya, Pirim Setiarso mengungkapkan hal-hal menarik yang didapatkan selama proses penelitian berlangsung, salah satunya terkait keterlibatan mahasiswa dan dosen dalam penelitian. Mahasiswa yang ikut berpartisipasi adalah yang sudah berpengalaman PKL magang penelitian bersama dengan mitra, sehingga dapat menerapkan ilmu yang diperoleh di kampus.
Pirim mengakui ada tantangan yang dihadapi tim peneliti Unesa bersama dengan mitra. Ia mengatakan, setelah terpenuhi standar SNI dan standar China, langkah selanjutnya adalah standarisasi HACCP agar dapat diakui oleh internasional. tidak hanya ke China saja.
Lebih lanjut, Pirim menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan berlangsung pada Januari hingga Desember 2022, lalu berlanjut hingga tahun 2025 dengan masalah deversifikasi ESN olahan produk turunan ESN yang diolah secara ekstraksi ultrasonic, berbasis enzimatik dan frezedrying. Penelitian dilakukan di beberapa tempat yaitu CV Dwi Anugrah Surabaya, Laboratorium Kimia Analitik, Laboratorium Biokimia, Labratorium Reset FMIPA Unesa dan Laboratorium di luar Unesa seperti Sucofindo, Baristan, Laboratorium Perguruan Tinggi di ITS, Unair, ITB dan beberapa tempat lainnya.
Ke depan, dosen kelahiran Klaten, 27 Agustus 1960 itu mengungkapkan, sesuai dengan roadmap penelitian ini akan berakhir pada 2029 dengan topik ESN yang digunakan untuk ksehatan dan farmasi. Ia mengaskan, sebagai dosen akan selalu meneliti topik-topik terkini dan terbarukan yang berkaitan dengan energi terbarukan, pembuatan membrane ultrafiltrasi, dan pengembangan metode analisis nanokomposit elektroda.
“Tentu tidak terhenti begitu saja. Kami berharap pihak LPPM dari perguruan tinggi terus mengawal dan melakukan pendampingan, sampai mitra dapat melakukan proses industri pengolahan sesuai standar SNI, China, dan HACCP,” harapnya.
Selain itu, Pirim berharap semua dosen dapat mengembangkan penelitian sejenis sesuai bidang keahlian masing-masing dan melibatkan mahasiswa agar mendapatkan pengalaman langsung di masyarakat. @hasna
Bagikan artikel ini