
Prof Slamet Setiawan, MA, PhD, Direktur Kerja Sama Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Ngalap Ilmu dan Pengalaman di Negeri Kanguru
Menempuh studi doktor di University of Western Australia (UWA) bukan hanya perjalanan akademik, tetapi juga tentang bertahan, beradaptasi, dan memperbanyak pengalaman. Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) itu pernah menjadi instruktur, hingga cleaning service demi menyelesaikan studi di Negeri Kanguru.
Selama menempuh studi di Australia, banyak kisah dan kenangan yang melekat di benak Slamet Setiawan sampai sekarang. Masih kuat di benaknya, pada tahun 2009, saat memasuki semester ketiga studinya, ia mendapat tanggung jawab sebagai instruktur untuk mahasiswa S-1 di kampusnya.
Maklum, sistem perkuliahan di sana menggabungkan kuliah besar yang diikuti ratusan mahasiswa dengan kelas kecil yang dipimpin oleh instruktur. Modelnya, ada kuliah umum yang diberikan oleh koordinator mata kuliah sebanyak dua kali seminggu, lalu materi diperdalam melalui kelas kecil yang diampu instruktur.
Sebagai instruktur, ia bertugas membimbing mahasiswa dalam latihan, mengoreksi tugas, dan menjelaskan konsep yang telah diberikan dalam kuliah umum.
Dalam kelas kecil, jumlah mahasiswa hanya sekitar 25 orang, sehingga komunikasinya lebih terbuka dan intens. Mahasiswa menjadi lebih aktif bertanya dan mendiskusikan materi secara mendalam.
Tidak sembarang mahasiswa bisa dipilih menjadi instruktur. Dosen kelahiran Jombang itu terpilih berdasarkan latar belakang akademik, progres studi, dan kedisiplinannya.
Tanggung jawab yang diemban itu tidaklah mudah, terutama karena bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Inggris, sementara sebagian besar mahasiswanya adalah penutur asli.
“Mengajarnya hanya satu jam, tapi persiapannya bisa lima jam. Saya harus benar-benar memahami materi, menyiapkan latihan, dan mengantisipasi pertanyaan dari mahasiswa,” ucapnya.
Kendati menantang, pengalaman ini memperkaya wawasannya. Ia belajar langsung dari dosen-dosen senior dan semakin percaya diri dalam mengajar di lingkungan internasional. Salah satu pengalaman paling berkesan baginya adalah ketika kelasnya pernah diadakan di luar ruangan.
“Waktu itu karena suatu hal, kami memutuskan untuk belajar di taman, di bawah pohon rindang. Mahasiswa duduk melingkar di atas rumput, berdiskusi dengan suasana yang santai tetapi tetap fokus,” ceritanya.
Baginya, pengalaman ini mengingatkan ia akan pentingnya fleksibilitas dalam pembelajaran. Sistem seperti ini belum banyak diterapkan di Indonesia. Jika Unesa suatu saat memiliki fasilitas open classroom, kelas tanpa dinding di ruang terbuka, pasti akan sangat menarik.
Jadi Cleaning Service
Setelah satu tahun menjadi instruktur, ia memutuskan untuk berhenti dan beralih ke pekerjaan sebagai cleaning service pada 2010. Bukan karena kurang kompeten, tetapi karena ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas akhirnya, disertasi.
“Menjadi instruktur itu menantang, tapi sangat menyita waktu. Saya harus fokus menyelesaikan studi,” imbuhnya.
Menjalani hidup di Australia tidak mudah, terutama karena ia membawa serta tiga anaknya tanpa ditemani istri. Sebab, istrinya saat itu juga sedang menempuh pendidikan S-2 di Indonesia. “Jadi, saya yang bertanggung jawab penuh atas anak-anak di Australia,” ucapnya.
Dengan kondisi tersebut, ia harus membagi waktunya antara kuliah, bekerja, dan mengurus anak-anak—mulai dari memasak, mengantar anak ke sekolah, hingga memastikan mereka dapat belajar dengan baik.
Selama menjadi cleaning service, ia bekerja di beberapa tempat berbeda, termasuk kantor pertambangan, perusahaan surveyor tambang, dan showroom Toyota.
Pekerjaan ini memberikannya banyak pengalaman berharga. Salah satunya, ia bisa belajar sistem keamanan kantor di Australia yang sangat ketat. Setiap sudut ada CCTV dan akses masuk harus menggunakan kode khusus.
“Saya selalu berhati-hati karena, jika ada barang yang rusak, maka alarm bisa berbunyi,” kenangnya.
Bekerja di bidang tersebut tentu jauh berbeda dengan mengajar sebagai instruktur. Jika menjadi instruktur membutuhkan persiapan panjang dan menguras energi mental serta waktu, pekerjaan cleaning service lebih sederhana dan hanya mengandalkan tenaga fisik.
” Saya bekerja hanya pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga pada hari biasa saya bisa lebih fokus mengerjakan disertasi,” jelas guru besar bidang linguistik tersebut.
Dari perjalanan panjangnya di Australia, Prof Slamet menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal gelar, tetapi juga tentang ketahanan dan adaptasi. Ia mengajar sebagai instruktur, lalu bekerja sebagai cleaning service merupakan bagian dari perjalanan.
Ia berharap Unesa bisa menerapkan sistem pembelajaran yang lebih efektif, seperti yang ia alami di UWA waktu itu. Di sana, konsep perkuliahan besar dikombinasikan dengan kelas kecil yang lebih mendalam. “Ini bisa menjadi model yang efektif untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa,” ungkapnya.
Sebagai akademisi yang pernah merasakan pengalaman studi di luar negeri, ia ingin agar mahasiswa dan generasi muda di Indonesia lebih terbuka dalam mengeksplorasi dunia dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.
“Jangan takut menghadapi tantangan. Setiap perjalanan pasti ada rintangan, tapi justru di situlah kita belajar,” pesannya kepada mahasiswa. @ja’far
Bagikan artikel ini